Tuesday, June 19, 2007

Mengapa Penerapan Balanced Scorecard Gagal ?

Setiap penemu suatu konsep atau teori yang termuka di muka bumi ini selalu mendapatkan tantangan untuk mempertahankan penemuannya. Di satu sisi, penemu berpikir keras untuk menyempurnakan teori yang ditemukan tapi disisi lain para kritikus berpikir keras untuk mencari kelemahan dari teori atau konsep yang ditemukan. Sama halnya antara fenomena virus dan antivirus. Sampai-sampai ada rumor bahwa pencipta virus dan antivirus adalah pihak yang sama. Bagaimana dengan user (pengguna) ?

sama saja. Saya mendefinisikan ada tiga kelompok pertama adalah kelompok user yang selalu seeking the brightness of everything, artinya optimis bahwa sesuatu yang baru akan membawa perubahan yang lebih baik. Kedua, kelompok user yang seeking the darkness of everything, artinya kelompok ini pesimis dan skeptis untuk hal2 yang baru dan selalu mempersulit sesuatu yang sebenarnya simple. Terakhir kelompok ketiga, kelompok user wait and see, kelompok ini lebih bersifat netral dan fair, tidak menghakimi sesuatu yang baru itu jelek tetapi tidak antusias mendukung dan menerapkan sesuatu yang baru. Umumnya, ketiga kelompok tersebut ada dalam setiap perusahaan dan organisasi.

Dari pandangan saya, adanya pro dan kontra justru menambah dan memperkaya wawasan. Sama halnya dengan konsep Balanced Scorecard yang terus diupdate oleh Kaplan dan Norton untuk dapat menjawab tantangan dan disesuaikan dengan kondisi bisnis yang turbulen ini.

Saya sering menganalogikan dengan hadirnya listrik. Setiap orang pasti membutuhkan listrik untuk penerangan, memasak, bekerja, dan sebagainya tetapi dengan di sisi lain listrik dapat menyebabkan kebakaran bahkan kematian. Apakah dengan listrik yang menyebabkan kematian digeneralisasi sebagai sesutu yang tidak bermanfaat ? Tentu saja tidak, karena sampai sekarang listrik masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Fakta berbicara bahwa penerapan Balanced scorecad membawa banyak keberhasilan bagi perusahaan yang menggunakannya sebut saja perusahaan besar seperti BBC, Volvo, Fortis, Bell Canada, JP Morgan, Singapore Prison, GE, Gartner Group, dan lain. Tetapi tidak sedikit juga yang gagal total dalam penerapan balanced scorecard ini dan mengalami kerugian. Kerugian materi, waktu, dan kesempatan yang tidak sedikit. Penyebabnya beraneka ragam misalkan pendefinisian balanced scorecard yang tidak sesuai dengan strategi perusahaan, keterbatasan resources, tidak melibatakn ICT (information and communication technology), dsb.


Seorang consultant bernama Arthur M Schneiderman sekaligus sebagai senior examiner di Malcom Baldrige National Quality Award, memaparkan faktor2 yang menyebabkan balanced scaorecard gagal. Faktor2 tersebut adalah sebagai berikut:

1.Faktor independen pada scorecard tidak didefiniskan secara benar khususnya persepktif non keuangan. Padahal faktor non financial ini sebagai indikator utama yang memberikan kepuasan bagi stakeholder di masa yang akan datang.

2.Metric didefinisikan secara minim (poor). Umumnya metric financial lebih mudah didefinisikan karena berhubungan dengan angka secara kuantitatif, sedangkan untuk non financial tidak ada standar yang pasti. Pendefinisian metric dalam bentuk kongkretnya adalah penentuan ukuran dari masing2 objektif dalam setiap perspektif BSC. Dalam pengukuran metric sejatinya harus mampu mendefinisikan dan memaintain proses dalam top – down dan bottom –up. Kreteria metric yang baik adalah:

Reliable dihubungkan dengan kepuasan stakeholder.

Weakness and Defect oriented dan continuous valued.

Ringkas dan mudah dipahami.

Dapat didokumentasikan, konsisten, bertahap, dan dijabarkan secara operasional.

Sesuai dan accessible bagi operator dan user.

Terhubung dengan sistem data yang dapat menjelaskan sebab dan akibat.

Memiliki proses formal untuk review dan modifikasi.

3.Terjadi “negosiasi“ dalam penentuan improvement goal dan tidak berdasarkan stakeholder requirement, fundamental process limits dan improvement process capabilities. Istilah negosiasi ini dalam prakteknya diistilahkan dengan “penghijauan“ skor, artinya supaya kelihatan performancenya bagus bisa jadi target yang diturunkan atau timeframenya disesuaikan.

4.Tidak adanya sistem deployment yang terintegrasi dari level top – down dan sub process level dimana sebenarnya actual improvement activities terjadi.

5.Tidak adanya metode dan sistem improvement yang baku dalam penerapan BSC.

6.Tidak adanya dan tidak mampunya membuat quantitative linkage antara non financial dan financial.


Bagaimana solusinya? Menurut saya solusinya ada dua yaitu:

Menggunakan software BSC yang sudah teruji dan proven, lakukan metode PUSH dari top management sehingga semua manajement“Dipaksa“ untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan sofware BSC. Berdasarkan pengalaman saya, Software BSC yang baik, salah satu kreterianya adalah memiliki wizard step by step yang menuntun user untuk dapat membuat linkage diagram, objective, program, target, dsb. Satu step tidak dipenuhi, step berikutnya tidak dapat dilanjutkan.

Libatkan konsultan yang memiliki jam terbang dalam penyusunan BSC secara manual. Peranan BSC menjadi sangat penting dalam memberikan pertimbangan dalam penentuan objektif, pengukuran, time frame dan maintenance.

Monday, May 28, 2007

Seberapa Besar Usaha Anda Untuk Membuat Customer Berkata WOW

Kesuksesan Customer service adalah dengan menciptakan pengalaman yang tak ternilai di mata customernya. Semua yang diinginkan customer bisa diantisipasi, system yang ada bekerja dengan semestinya, karyawan yang terlatih, maka hal ini bisa disimpulkan bahwa perusahaan dapat berjalan lanmcar tanpa gangguan. Tapi apa yang terjadi bila hal yang tidak diinginkan terjadi?? Misalnya sorang customer yang mempunyai permintaan yang diluar dugaan, atau mereka yang tidak mengerti tata cara aturan yang ada di perusahaan kita. Semua hal yang sama sekali tidak kita duga tersebut akan bisa kita siasati dengan cara yang memungkinkan untuk kita bias sedikit longgar dengan aturan yang ada, atau me ngembangkan system yang telah berjalan dengan baik di perusahaan kita, atau bahkan melupakan system yang ada dan buat customer berkata WOW.
Untuk sebuah perusahaan yang sudah memiliki system yang sangat mapan dan handal, tujuan mereka selanjutnya adalah membuat customer mereka berkata WOW dan berdecak kagum, dengan cara menangani suatu hal yang tidak diduga itu dengan lebih kreatif. Dapat dilihat bahwa suatu perusahaan yang bisa dan telah mempraktekkan dengan sukses bagaimana menjadi customer service yang kreatif, sebenarnya mereka mempuyai dua hal kesamaan diantara mereka.
Pertama adalah bahwa mereka sangat perhatian dengan customernya. Dari mulai top managementnya, sampai dengan setiap karyawan yang bekerja di perusahaan itu sangat peduli dengan customernya, Mereka sangat peduli dan senang melakukan perbuatan untuk menolong menyelesaikan permasalahan orang lain. Atau dengan kata lain, dengan tidak menolong orang lain yang mengalami kesuitan berarti sama dengan menyakiti orang tersebut. \Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, Seberapa besar perusahaan anda peduli dengan customernya? Atau seberapa besar anda peduli dengan customer anda??
Persamaan yang kedua adalah bahwa karyawan memiliki kewenangan. Yang dimaksudkan disini adalah bahkan apabila seseorang itu sudah memiliki rasa peduli yang besar, apabila ia tidak punya kewenangan yang cukup, maka hal itu sama saja tidak ada gunannya. Sebagai tambahan adalah, seorang karyawan yang mungkin kurang mempuyai kepedulian terhadap customernya mungkin saja melakukan sesuatu yang kreatif dan innovatif kepada customernya hanya untuk melatih dan mempraktekkan kewenangan yang dia miliki. Lalu, apakah anda mempunyai kewenangan yang cukup untuk membuat hal yang kreatif??
Dengan segala kecanggihan dalam technology yang terimplementasi dalam perusahaan anda, melakukan tugas dan kewajiban anda dengan baik saja kuranglah cukup untuk membedakan anda dengan yang lain. Pemenang sebenarnya adalah mereka yang bersedia membuat customernya berkata WOW sambil berdecak kagum